Photo by Raychan on Unsplash Dealing with depression is something that I always struggle for. Struggling karena lo kayak ngerasa lagi perang sama pikiran lo sendiri, while mungkin sebenarnya, realitanya, kondisi sedang baik-baik saja. Tapi pikiran lo berkata sebaliknya. Struggling because I don't want to hurt anybody, especially my close circle. Karena biasanya kalo lagi depresi kayak gini kan muka udah butek diliatnya, ngomong pake intonasi tinggi dan cenderung marah-marah--pagi ini aja ngomong di rumah udah rada gak nyante, dan memilih untuk menjauh terus menyendiri. === Akhir-akhir ini lini media sosial lagi digempur sama kebanggaan atas kemenangan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu sebagai penyabet medali emas di cabor bulutangkis ganda putri Olimpiade Tokyo 2020. Tentu, gue juga gak ketinggalan ngikutin pertandingan mereka beberapa hari yang lalu yang bikin jantung dekdekan dan suara mayan serak karena ikutan teriak saking semangatnya. Tentu, gue juga ikut overproud sebagai wa
Katanya sombong itu gak baik. Tapi rendah diri juga gak baik. Terus sulit gimana caranya biar bisa hidup 'in-between' ; artinya ya gak sombong, tapi gak rendah diri juga. Tetap punya self-esteem yang sehat, tapi tidak berlebihan yang nanti ujung-ujungnya bisa sombong. --- Gue sering berada pada situasi di mana gue ngerasa semua orang membenci gue. Padahal saat itu lagi gak ada peristiwa buruk yang terjadi. Semua terasa baik-baik saja. But somehow, there's a voice in my head telling me that: "You're not enough, Meista! You're not good enough!" Gue dilatih dan dididik menjadi seorang perempuan yang harus rendah hati dan apa adanya sedari kecil. Terlepas dari berbagai achievement dan berbagai pujian yang diterima dari orang lain, gue tetap mempertahankan value itu: tetap rendah hati . TAPI... Entah kenapa gue akhir-akhir ini jadi ngeblur dan susah membedakan apa itu rendah hati dan apa itu rendah diri ? Alih-alih rendah hati, gue jujur lagi bermasalah dengan
Sebenarnya kita bisa jawab cepet pertanyaan gue di judul itu ya. "Nyakitin lah, Mei! Menurut ngana -_-" ===== Dalam sebuah percakapan random dan gemey bareng adek gue di suatu sore, dia pernah bilang seperti ini: "Kakak tuh cantik, temennya banyak, kalo bikin konten tulisan bagus. Aku pengen kayak kakak." Mendengar adek sendiri ngomong gitu gue be like: ..... 😷 Speechless sih. I mean...how come dia bisa menilai itu semua while dia juga tau betul betapa mengesalkannya gue sehari-hari di rumah. Dia tau betul kelemahan dan kekurangan gue tapi dia bisa bilang "...aku pengen kayak kakak." Well, mungkin ini memang rentan dialami oleh setiap kita kalian yang berada di posisi adek kali ya ( so sorry gue anak sulung soalnya jadi can't relate, wk 😅). Ngerasa bahwa si kakaknya itu paling paling lebih dibanding dirinya. Di keluarga kami bersyukur orang tua mendidik kami secara adil dan merata. Maksudnya gak ada pembandingan atau perbedaan kasih sayang yang gim
Ketika kembali berhadapan dengan sebuah pelajaran (lagi) bahwa "kita gak bisa memaksakan apa yang ada di dalam pikiran kita terhadap orang lain", ternyata itu bikin gue marah. Berharap dalam benak terjadi sesuatu seperti X, yang terjadi kebalikannya. Sampe bikin gue berpikir: "Gue salah apa ya..." Marah karena akhirnya menyadari bahwa: ya... that's life. Gue kelihatannya terlalu memaksakan diri untuk terlalu terbuka pada sebuah komunitas pertemanan yang baru. Gaada seorangpun yang memaksa gue untuk se-terbuka itu, tapi ketika gue ingat lagi diri gue seperti apa, sepertinya gue cukup 'kebablasan'. Dalam artian, aslinya gue tuh gak se-terbuka itu. Gue bisa percaya untuk terbuka dengan orang yang memang menurut gue layak untuk dipercaya setelah gue menganalisa dalam jangka waktu yang gak sebentar. Yang ini, baru juga kenal berapa lama, gue udah bocor. Di situlah trust issue gue kembali muncul ke permukaan. Dan ternyata bener kan. Alih-alih mendapat damai se
Photo by Stephen Phillips - Hostreviews.co.uk on Unsplash (Rabu, 9 Juni 2021 16:19, Starbucks Pondok Indah Mal 2) Jeez, I'm scared. I opened a new mail on my Gmail inbox this afternoon and....JEEZ I'M FREAKIN' SCARED! No, no, please don't misunderstood. This is a mixed-up-feeling ever. Satu sisi seneng banget abis baca e-mail, satu sisi langsung khawatir. Ketakutan. Apa sih yang gue takutkan: 1. I'm like enough to dealing with myself, my expectation, especially when I'm working with people in professional way. I know, and I have learned that...whatever the job title is, wherever the company is--even the big and established one, I couldn't run away from: dealing with people . 2. Ketika sudah tahu hal-hal yang sudah dipelajari, pertanyaan berikutnya adalah: apakah gue mampu menerapkannya di petualangan berikutnya? 3. Apakah gue siap untuk 'gagal' lagi? Entahlah, namun gue merasa di fase gue yang sekarang ini gue harus mulai belajar untuk 'berani g
Beberapa bulan belakangan ini gue lagi banyak belajar hal baru tentang: relasi. Relasi antar manusia yang unik, dinamis, dan kompleks. Setelah mengalami sendiri berbagai macam dinamika yang terjadi dalam relasi, gue pun menangkap pola yang sama ternyata dialami juga sama kebanyakan orang. Maksudnya, dinamika dalam relasi tuh ya gak cuma gue doang gitu yang ngalemin. Seluruh umat manusia di dunia juga mengalami. Cuma bentuk dinamika dan gimana cara masing-masing orang meresponinya itu aja yang beda-beda. Ada temen yang cerita di tempat kerjanya dia kayak dianggep anak gitu sama bosnya. Saking "dianggep anak", akhirnya yang kerasa sama si temen gue ini adalah si bos gak ngehargain bahwa anak buahnya tuh punya orang tua kandung juga, lho. Well, gue sebagai pendengar cerita cuma bisa merespon: "Yah mungkin bos lo kepengen punya anak tapi belum bisa, kali. Atau ya personal-relationship-attachment -nya dia tinggi aja ke staf-stafnya. Mungkin." Ada juga temen lain yang cur
Photo by Lukas Stoermer on Unsplash Jakarta. Jumat, 27 Mei 2016 Malam itu (harusnya) jadi salah satu malam membahagiakan buatku. Bayangin aja: hanya dalam 1 malam aku bisa menyaksikan secara langsung 2 grup musik favorit sepanjang masa. Kahitna dan Yovie and Nuno . Dua grup musik besutan Yovie Widianto yang aku idolakan sejak kecil sampai sekarang. Bahkan kini gaya musik Yovie Widianto menjadi salah satu inspirasiku dalam bermain piano dan mencari aransemen--ini cukup menjelaskan mengapa di beberapa kesempatan pelayanan menjadi pemusik agaknya aransemennya rada ke-Kahitna-Kahitna-an. Hahaha ✌😂 "Mei, lu mau nonton Kahitna gak?", seorang teman di masa kuliah tiba-tiba mengirim pesan singkat beberapa minggu sebelum hari-H. "Wah, kapan di mana?", tanyaku. "Di SCBD Sudirman. Ini acaranya Global TV. Gue kebagian tiket gratis, cuma gue ga begitu suka Kahitna. Terus gue inget elu." Sungguh sebuah berkat tak terduga. Temanku itu kebetulan memang bekerja di stasi
Photo by Sincerely Media on Unsplash "I will bring honor to us all." --- Aku gak tahu apakah setiap manusia akan menghadapi berbagai macam tuntutan dalam hidupnya. Tuntutan yang datang dari dalam keluarga inti, dari keluarga besar, dari kebudayaan --seperti cerita dalam film "Mulan" , atau dari lingkungan sosial manapun tempat kita berada. Tuntutan yang bisa saja mampu kita penuhi, bisa saja tidak. Ketika tuntutan terpenuhi, tentu penerimaan dari 'si penuntut'--siapapun itu, akan terwujud. Kita akan merasa diterima oleh dia/mereka meski mungkin hal yang kita lakukan sebagai tuntutan tersebut bertentangan dengan hati nurani kita. Lalu gimana jadinya jika kita gak bisa memenuhi tuntutan itu? Seperti yang aku tonton dari film "Mulan", tentu ada banyak pengorbanan dan resiko yang besar. Ditolak, harga diri yang jatuh di mata masyarakat, aib, bikin malu, dan lain-lain. Kalo udah kayak gitu sepertinya berbuat hal baik apapun akan selalu jadi salah karen
Comments
Post a Comment
Thank you for your comment! :D